Akhir-akhir ini kita disibukkan lagi kepada perkara ikhtilaf. Kali ini menimpa Teuku Wisnu dalam sebuah acara TV swasta. Bully, hujatan, tanggapan, serta pertanyaan terus menimpa kepada presenter yang baru hijrah ini. Web mainstream pun juga sedang asik-asiknya menyebarkan berita kontroversial itu.
Bahkanpun Teuku Wisnu mendapat hujatan di dalam media sosial twitter. Hujatan serta peryataan tendensius bertubi-tubi datang kepada "Ustadz" ini didalam akun twitternya. Namun lihatlah bagaimana Teuku Wisnu menjawab hujatan tendesius itu, saya rasa patut diteladani.
Sebelumnya Teuku Wisnu membuat sebuat twit dengan isi "Saya bukan Ustadz saudaraku....hanya hamba Allah yg harus terus belajar". Peryataan tendesisus kemudian muncul dari akun @abagjoel dengan twit "belajar dulu mas yang bener, jangan sok bener nyalahih amalan-amalan kami pengikut ahlussunah wal jamaah". Twit tersebut kemudian diladeni dengan baik oleh Teuku Wisnu dengan jawaban "Iya Mas Zul, maaf sebesar-besarnya....Ana hanyalah hamba Allah yang fakir ilmu...Harus banyak belajar... jazakallah khairon mas".
Begitu juga dengan akun @Sang_Menara. Teuku Wisnu kemudian juga meladeni dengan baik dan sejuk tanpa terporvokasi serta tawadhu'. Saya melihat, Teuku Wisnu cukup dewasa dalam menyikapi setiap hujatan yang menimpa dirinya itu. Bahkan pun ia sendiri tidak mengaku memiliki gelar Ustadz sebagaimana yang banyak ditulis media lainnya.
Lantas pertanyaan saya adalah, pantaskah kita salahkan Teuku Wisnu?. Teuku Wisnu hanya presenter acara TV yang sudah dimanage sedemikian rupa oleh manajemen acara tersebut. Termasuk teks skrip presenter yang dibawakan olehnya itu juga ada yang bertanggung jawabnya. Tugas Teuku Wisnu hanya sebagai presenter/host yang menyampaikan serta membawa acara sesuai dengan skenario atau teks skrip presenter yang sudah diatur sedemikian rupa oleh manajemen. Begitu juga dengan pembahasan yang kemudian disampaikan.
Jika seperti itu, mestinya anda tidak menggugat Teuku Wisnu selaku presenter. Yang harus anda gugat adalah manajemennya. Terkhusus yang mengatur skrip narasinya itu. Karena jelas, kita sudah dahulu terprovokasi akhirnya yang kita salahkan apa yang hadir didepan mata. Ini bukan Akhlaq seorang muslim saudaraku, sifat gegabah bukan akhlak kita. mari kita simak bagaimana tuntunan yang diajarkan Imam Syafi'i dalam mengkritis seseorang:
Imam Syafi”i (wafat tahun 204H) berkata dalam syairnya:
Hendaklah engkau sengaja mendatangiku untuk memberi nasehat ketika aku sendirianOleh karenanya hindari sikap gegabah, mari kembali kepada adab dan akhlaq sesuai tuntunan Rasul.
Hindarilah memberi nasehat kepadaku ditengah khalayak ramai
Karena sesungguhnya memberi nasehat dihadapan banyak orang sama saja dengan memburuk-burukkan, saya tidak suka mendengarnya
Jika engkau menyalahi saya dan tidak mengikuti ucapanku maka janganlah engkau kaget apabila nasehatmu tidak ditaati.
Permasalahan hadiah pahala kepada mayyit bukanlah perkara baru, ianya adalah permasalahan khilafiyah. bahkan dalam tubuh mazhab kita Syafi'i sendiri memiliki perbedaan baik Imam Syafii maupun muridnya Imam Nawawi.
Imam Syafii rahimahullah Berkata:
Disunnahkan membaca al-Qur’an kepada mayit yang telah di kubur. Jika sampai khatam al-Qur’an, maka itu lebih baik. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi w. 676 H, Riyadh as-Shalihin, h. 295)
Adapun pendapat Imam Nawawi rahimahullah:
وأما قراءة القرآن، فالمشهور من مذهب الشافعي، أنه لا يصل ثوابها إلى الميت، وقال بعض أصحابه: يصل ثوابها إلى الميت
Untuk bacaan al-Quran, pendapat yang masyhur dalam madzhab as-Syafii, bahw aitu tidak sampai pahalanya kepada mayit. Sementara sebagian ulama syafiiyah mengatakan, pahalanya sampai kepada mayit. (Syarh Shahih Muslim, 1/90).
Salah satu ulama Syafiiyah yang sangat tegas menyatakan bahwa itu tidak sampai adalah al-Hafidz Ibnu Katsir, penulis kitab tafsir.
Kata Ibnu Katsir,
ومن وهذه الآية الكريمة استنبط الشافعي، رحمه الله، ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى؛ لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم
“Dari ayat ini, Imam as-Syafii – rahimahullah – dan ulama yang mengikuti beliau menyimpulkan, bahwa menghadiahkan pahala bacaan al-Quran tidak sampai kepada mayit. Karena itu bukan bagian dari amal mayit maupun hasil kerja mereka. (Tafsir Ibnu Katsir, 7/465).
Dari perkara diatas kita dapat simpulkan adalah, perkara ini merupakan perkara ikhtilaf ulama yang tidak perlu diperdebatkan. Kenapa begitu? karena pertama, Imam Nawawi sendiri selaku muridnya Imam Syafii ikhtilaf dengan pendapat gurunya. Kedua, dua-duanya ada rujukannya baik melakukan dan meninggalkan. Dengan demikian kita dapat pahami bahwa hujatan kepada Teuku Wisnu selaku presenter adalah salah objek, begitu juga dengan sebutan "ustadz" yang oleh Teuku Wisnu sendiri menyangkalnya. Semoga dapat membuka mata kita semua, wallahualam.
Posting Komentar