0
Jainisme (bahasa Sanskerta: जैनधर्म - Jainadharma, bahasa Tamil: சமணம் - Samaṇam) adalah sebuah agama dharma. Jaina bermakna penaklukan. Agama Jaina bermakna agama penaklukan. Dimaksudkan penaklukan kodrat-kodrat syahwati di dalam tata hidup manusiawi. Agama Jaina itu dibangun oleh Nataputta Vardhamana, hidup pada 559-527 SM yang beroleh panggilan Mahavira yang berarti pahlawan besar.

Agama Jaina lahir lebih dahulu dari pada agama Buddha. Agama Buddha punya pengikut lebih luas di luar India, namun agama Jaina terbatas hanya di India saja. Kedua agama tersebut merupakan reaksi terhadap perikeadaan di dalam agama Hindu mengenai perkembangan ajarannya pada masa lampau.

Dewasa ini ada lebih dari 8 juta pengikut agama ini. Mereka terutama ditemukan di India. Secara sosial, biasanya para penganut Jainisme termasuk golongan menengah ke atas. Agama Jaina itu mewariskan bangunan-bangunan kuil yang amat terkenal keindahan arsitekturnya di India dan senantiasa dikunjungi wisatawan.

Kitab suci di dalam agama Jaina adalah Siddhanta. Kitab ini terdiri atas beberapa himpunan. Himpunan pertama terdiri atas dua belas buah Angas atau bab, namun Angas keduabelas telah lenyap, tidak dijumpai sampai sekarang.

Profil Agama

Nama        : Jaina/Jainisme - Jainadharma
Pendiri       : Nataputta Vardhamana
Kitab Suci  : Sidhanta
Daerah       : India
Populasi     : 8.000.000

Simbol Agama

Prateek Chihna,
simbol Jain yang telah disetujui oleh semua sekte Jain sejak 1974.


Bendera Kaum Jaina
Sejarah Perkembangan Agama Jainisme

Menurut agama Jain, kepercayaan agama jainisme bersifat abadi. Untuk menjelaskan pendapat tersebut, Jainisme membandingkan dengan konsepsi waktu. Waktu, menurut agama tersebut, tidak ada batasnya. Waktu diukur berdasarkan lingkaran evolusi dan lingkaran kemusnahan. Lingkaran-lingkaran ini mereka sebut dengan utasarpani dan avasarpani. Setiap lingkaran dibagi menjadi enam zaman. Pada tahap keempat dari lingkaran waktu yang kedua terdapat dua puluh empat Tirtangkara, atau jiwa sempurna, yang semuanya diduga telah mencapai kelepasan total dari semua kungkungan dan belenggu jiwa. Kedua puluh empat Tirtangkara itu pula yang dipercaya telah menyebarkan agama Jain ke dunia.

Secara berurutan dapat kami sebutkan, diantaranya adalah: 
  1. Rshba atau Vrshaba, sapi jantan, emas; 
  2. Ajita, gajah, emas; 
  3. Sambhava, kuda, emas; 
  4. Abhinandana, kera, emas;
  5. Sumati, burung, banagau, emas; 
  6. padmaprabha, bunga teratai, merah; 
  7. Suparsva, berupa swastika, emas;
  8. Chandravhaba, bulan, putih;
  9. Suvihdi, atau Puspadata, iakan lumba-lumba, putih;
  10. Sitala, berupasripasta, emas;
  11. Sreyamsa, atau Sreyan, badak, emas; 
  12. Vasupujya, kerbau, merah;
  13. Vimala, babi, emas; 
  14. Ananta atau Anatajid, burung lang, emas; 
  15. Dharma, halilintar, emas; 
  16. Shanti, kijang, emas; 
  17. Kunthu, kambing, emas; 
  18. Ara, berupa Nandyvarta, emas; 
  19. Malli, kendi, biru; 
  20. Suvrata, atau Munisuvrata, kura-kura, hitam;
  21. Nami, keratai biru, emas; 
  22. Nemi atau Aristanemi, kulit kerang-kerangan, hitam 
  23. Parsva, ular, biru;
  24. Vardhamana, harimau, emas. 
Dari semua Tirthankara tersebut adalah golongan kesatria. Malli adalah seorang perempuan; dan ini bisa diterima oleh sekte Svetambara. Namun sekte Digambara menolaknya, karena sekte ini berpendapat bahwa kaum wanita tidak akan dapat mencapai pencerahan atau kelepasan.

Dari urutan tersebut diatas, Rsbha dalah Tirthankara yang pertama. Rsbha inilah yang dikatan sebagai pendiri yang sebenarnya dari Jain ini. Namanya dapat ditemukan dalam kitab Weda dan Purana, namun hanya sedikit saja nama Rashba disinggung didalamnya, berbeda dengan Tirthankara yang terakhir, yaitu Vardharama, yang namanya cukup banyak disinggung, dan dia juga hidup sezaman dengan Buddha.

Jainisme mulai diakui keberadaannya di Magadha, India Utara, sekitar abad ke-6 dan ke-5 SM. pada waktu itu Vardhamana Mahavira mulai menyebarkan ajaran-ajarannya. Oleh karena itu, Mahavira ini dianggap sebagai “nabi” Jainisme, bukan sebagai penciptanya. Hal ini diperkuat oleh kenyataan, bahwa Mahavira bukan yang paling dulu menyebarkan ajaran-ajaran Jainisme tersebut. Diakui juga bahwa diantara sekian banyak Tirthankara, Mahavira adalah yang paling terakhir turun kedunia ini. Pendahulunya, yaitu Parsvanatha, meninggal dunia pada 776 S.M, dan Nemitatha, yang diduga mendahului Parsvanatha, meninggal dunia kira-kira 5.000 tahun sebelumnya.

Ilustrasi patung sosok Tirthankara
Mahavira Pendiri Jainisme

Mahavira adalah sebutan bagi jaina ke 24 atau Tirthankkara ke 24, namun nama aslinya adalah vardhamata, yang artinya berlebih-lebihan. Ia memperoleh nama tersebut dikarenakan ia lahir dikalanngan kaum ksatria dan saat ia dalam kandungan ibunya, kehidupan keluarganya penuh dengan kebaikan dan kemewahan. Sedangkan Sebutan mahavira sendiri sebenarnya sang pahlawan besar atau perwira perkasa. Hal ini dikarenakan mahavira adalah jaina teragung, yang memiliki banyak pengikut.

Ilustrasi Mahavira - Nataputta Vardhamata
Mahavira dibesarkan ditengah-tengah keluarga yang besar, yang penuh kemewahan dan kesenangan. Dari masa ke masa keluarganya selalu menyambut kedatangan rombongan ahli agama dan ahli ibadah, karena rombongan ini mendapati rumah amir ini, mereka menumpang dengan baik dan disambut dengan tangan terbuka. Dan sejak kecil mahavira gemar mengikuti majelis mereka dan senang mendengar kata-kata hikmah serta ajaran-ajaran mereka, sehingga ajaran falsafah yang mereka ajarkan juga mempengaruhi diri mahavira. Karena rasa ketertarikannya itu maka ia mulai mendalami tentang ketuhanan dan kehidupan zuhud serta persemedian. Namun karena kedudukan keluarganya yang sangat penting dalam pemerintahan maka keluarganya tidak terlalu mendukungnya untuk melakukan ajaran agama semakin dalam lagi.

Karena paksaan keluarganya maka mahavira menikahi seorang gadis yang dicalonkan oleh keluarganya yang bernama yasoda dan dikaruniai seorang anak yang bernama anuja. Hal ini sangat menyiksa dirinya karena keinginan utamanya adalah sebenarnya mendalami ketuhanan namun semasa ayahnya masih hidup ia tak berani menunjukannya, demi menyenangkan ayahnya.

Namun tatkala kedua orangtuanya meninggal dunia, maka ia memiliki kesempatan untuk memenuhi hasratnya yang telah lama dipendam, yaitu ingin hidup zuhud dan bertapa. Mahavira meminta saudaranya untuk memegang jabatan yang di tinggalkan ayahnya, serta meminta izin untuk meninggalkan gelar kebangsawanannya demi mendalami agama. Namun saudaranya khawatir orang-orang akan menyangka mahavira melakukan hal itu karena siksaan yang disebabkan oleh keluarganya maka ia meminta mahavira untuk menangguhkan keinginannya tersebut. Namun tatkala tiba saatnya yang telah ditetapkan, diadakanlah suatu pertemuan besar dibawah pohon asoka dengan dihadiri seluruh anggota keluarga dan penduduk negri. Mahavira mengumumkan keinginan mahvira untuk meniggalkan gelar kebangsawanannya, kerajaannya, dan seluruh yang ia miliki, untuk menyediri dalam zuhud dan persemedian. Inilah awal kehidupan rohaninya secara nyata. Dia menanggalkan pakaiannya yang indah, perhiasannya, mencukur rambutnya dan mulai kehidupan baru, umurnya pada waktu itu baru 30 tahun.

Konsep Ajaran Agama Jainisme

Ajaran agama jaina ini adalah menekankan aspek etika yang sangat ketat, terutama komitmennya terhadap konsep ahimsa. Di katakan oleh para sarjana, konsep ahimsa inilah yang banyak mempengaruhi ajaran-ajaran berikutnya, seperti Buddha, bhagadgita, dan sebagainya. Menurut tradisi jaina, garis perguruan yang sangat panjang sejak zaman pra-sejarah diturunkan dimana keyakinan ajaran ini diteruskan dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Guru-guru yang telah meneruskan ajaran-ajaran jaina ini berjumlah dua puluh empat orang, yang disebut Tirthangkara atau penyebar keyakinan.

Konsep Ketuhanan
Agama Jaina tidak mempercayai tentang tuhan, dikarenakan agama jaina ini sendiri adalah suatu gerakan yang menentang agama hindu. Mahavira menegaskan bahwa didalam alam ini tidak ada ruh mahabesar dan ruh agung. Disinilah agama jaina ini dinamakan agama ilhad atau mulhidin( tidak mempercayai adanya tuhan/atheis). Agama jaina mempercayai bahwa setiap yang wujud, baik manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan batu-batuan adalah tersusun dari badan dan ruh. Setiap ruh itu kekal dan bersendiri mengalami hukum pengembalian kembali.

Karena agama jaina tidak mempunyai tuhan maka, setelah mahavira meninggal dunia pada tahun 527 SM, maka para pengikut agama jaina mulai kehilangan arah. Sempat pada awal-awalnya mereka kembali kepada tuhan-tuhan orang hindu, namun karena seiring dengan berjalannya waktu mereka menetapkan mahaviralah tuhan mereka bahkan patungnya mereka sembah.

Konsep Tentang Alam
Jainisme menganut filsafat dualisme, yaitu membagi alam saemesta ini menjadi dua kategori:
  • Zat yang hidup (jiva)
  • Zat yang tidak hidup (ajiva).
    Ajiva memiliki lima substansi yaitu benda (pudgala), dharma, adharma, ruang (akasa) dan waktu (kala). Unsure jiva dan keenam unsure ajiva tersebut disebut denga enam dravya.
Menurut ajaran agama jain substansi jiva dan ajiva adalah kekal, tidak diciptakan, tidak ada permulaan dan tidak berakhir.

Konsepsi Tentang Karma
Jainisme tetap menerima ajaran tentang karma-samsara dalam pemikiran tradisional india, dan mengajarkan bahw karma terjadi karena tercampurnya jiva dan ajiva. Konsep karma dalam jainisme berpangkal pada prinsip dualism antara jiwa dan benda, atas dasra prinsip tersebut, menurut jainisme tubuh manusia itu memenjarakan jiwanya.

Menurut jainisme karma adalah energy jiwa yang dengan energy itu menyebabkan penggabungan jiwa dan benda dan kekotoran berikutnya dari jiwa itu. Menurut jain karma bisa dibersihkan, prose pembersihan karma disebut dengan nirjana, jika proses nirjana ini berjalan terus tanpa rintagan maka pada akhirnya semua karma akan tercabut dari jiwa dan akan mencapai tujuan utama hidup.

Tujuan utama dari orang Jain adalah menjadi seorang Paramatman, satu jiwa yang sempurna. Ini akan dicapai ketika semua lapisan karma, yang dianggap sebagai substansi, dibuang, yang memungkinkan jiwa muncul ke atas sampai di langit-langit alam semesta, dari kegelapan kepada cahaya, dimana, di luar Dewa-dewa dan perpindahan jiwa yang sedang terjadi, jiwa tinggal selamanya dalam kebahagiaan yang sunyi dari moksha. Moksha didefiniskan dalam agama Jain sebagai pembebasan, penyatuan diri (self-unity) dan integrasi, kesendirian yang murni dan ketenangan yang abadi, bebas dari tindakan dan keinginan, bebas dari karma dan kelahiran kembali. Moksha dapat dicapai dalam hidup ini atau pada waktu setelah mati. Ketika ia dicapai, manusia telah memenuhi tujuannya sebagai manusia-Tuhan (man-God). Bagi agama Jain tidak ada Tuhan pencipta dan, karena itu, tidak ada persatuan dengan Tuhan. Hakikat dari jiwa adalah kesadaran murni, kekuatan, kebahagiaan dan maha tahu.

Etika Penganut Agama Jain
Masyarakat jainisme terdiri atas pendeta, biara dan orang kebanyakan. Hanya ada lima disiplin spiritual didalam jainisme. Di dalam kasus kependetaan disiplin ini benar-baner ketat, kaku dan sangat fanatik. Sementara dalam kasus orang umum hal itu bisa di modifikasi.

Untuk pendeta ada lima sumpah yang disebut “sumpah besar” (maha-vrta), sementara bagi orang umum disebut ‘sumpah kecil’ (anu-vrta). Kelima sumpah tersebut adalah
  1. Ahimsa (non kekerasan)
  2. Satya (kebenaran di dalam pikiran)
  3. Asteya (tidak mencuri)
  4. Brahmacharya (berpantang dari pemenuhan nafsu baik pikiran, perkataan maupun perbuatan)
  5. Aparigraha (ketakmelekatan dengan pikiran, perkataan dan prbuatan). Dalam hal orang umum, aturan ini bisa di modifikasi dan disederhanakan.
Untuk orang awam ada 12 atauran yang semula berasal dari aturan pendeta. Keduabelas aturan tersebut adalah
  1. Tidak pernah menyengaja melenyapkan kehidupan dari makhluk ang berorgan indra
  2. Tidak pernah berbohong
  3. Tidak mencuri
  4. Tidak berzina
  5. Tidak tamak
  6. Menghindari godaan-godaan
  7. Membatasi jumlah barang yang dipakai sehari-hari
  8. Menjaga hal yang berlawanan dengan usaha untuk menghindari dari kesalahan-kesalahan
  9. Menjaga periode-periode meditasi yang telah dicapai
  10. Mengamati periode-periode penolakan diri
  11. Memanfaatkan periode-periode kesempatan menjadi pendeta
  12. Member sedekah
Umat awam juga memegagap prinsip ahimsa, dengan melakukan diet vegetarian dan selanjutnya melarang diri makan telor. Sekalipun etika awam sudah cukup bagi mereka yang ternassuk kelompok awam agama Jainisme, namun masih terbuka lebar kesempatan bagi kelompok awam ini untuk mengikuti etika pendeta yang lebih tinggi yang lebeih berat seperti:
  • Digvitapati : membatasi jarak antara yang dia inginkan dan dia tuju
  • Anarthadandavirati : bergantununtuk mengikatkan diri pada segala sesuatu bahwa sesuatu itu secara ketat tidak melekat pada dirinya
  • Upabhogaparibhogaparimana: meletakan sesuatu pada ukuran tertentu terhadap banyaknya makanan, minuman, barang-barang yang di sukai dan menghindari isi samping dari keenakan-keenakan kasar atau badani.
Selain itu kelompok awam juga tidak melarang melakukan empat disiplin sumpah yang di maksud siksavrata yaitu.
  • Desavirata: mengurangi medan gerak yang di inginkan
  • Samayika: menagung gerak dan tindakan yang berdosa dengan cara duduk tanpa bergerak dan fikiranya bermeditasi pada benda-benda yang mulia dan suci
  • Pausadhopavasa: hidup sebagai seorang pendeta setiap tanggal 8,14,15
  • Atithisamvibaga: memberi bagian bagi para tamu, memberi sedekah parapendeta apa saja yang mereka inginkan
Konsep Roh
Jaina percaya dengan pluralisme roh; terdapat roh-roh sebanyak tubuh hidup yang ada. Tidak hanya roh dalam binatang, tetapi juga tumbuh-tumbuhan dan bahkan dalam debu. Hal ini juga diterima dalam ilmu pengetahuan moderen. Semua roh tidak secara sama memilki kesadaran, ada yang lebih tinggi ada yang lebih rendah. Semaju apapun indria-indrinya, roh terbelenggu dalam pengetahuan y6ang terbatas; juga terbatas dalam tenaga dan mengalami segala jenis penderitaan.Tetapi setiap roh mampu mencapai kesadaran tak terbatas, kekuatan dan kebahagian. Mereka dihalangi oleh karma, seperti matahari dihalangi oleh awan. Karma dapat menyebabkan belenggu roh. Dengan menyingkirkan karma roh dapat memindahkan belenggu dan mendapatkan kesempurnaan alamiah.

Tiga cara menyingkirkan belenggu, yaitu keyakinan yang sempurna dalam ajaran-ajaran guru-guru jaina, pengetahuan benar dalam ajaran-ajaran tersebut, dan perilaku yang benar. Perilaku benar terdiri atas praktek tidak menyakiti atau melukai seluruh makhluk hidup, menghidari kesalahan, mencuri, sensualitas, dan kemelakatan objek-objek indriya, mengkombinasikan ketiganya di atas, perasaan akan dikendalikan dan karma yang membelenggu roh akan disingkirkan. Lalu, roh mencapai kesempurnaan alamiahnya yang tak terbatas, pengetahuan tak terbatas, dan kebahagian yang tak terbatas. Inilah keadaan miksa menurut ajaran jaina. Hal ini telah dibukatikan oleh guru-guru dalam tradisi jaina atau Tirthankara. Mereka memperlihatkan jalan menuju moksa.

Konsep Metafisis
Di dalam aspek metafisikanya, jainisme mengambil posisi realistik dan pluralism relativistik. Ia disebut atau doktrin pluralistik realitas. Material dan spirit dipandang sebagai realitas-realitas yang independen dan terpisah. Terdapat atom-atom material yang tak terhitung jumlahnya dan roh-roh individu aspek-aspek dirinya yang juga tak terhitung jumlahnya. Sebuah benda mempunyai karakteristik yang tak hingga jumlahnya . setiap objek mempunyai karakter positif dan negative yang tak terhitung jumahnya.

 Adalah tak mungkin bagi manusia biasa untuk mengetahui semuanya itu. Kita hanya tahu sebagian kecil saja. Oleh karena itu, jainisme mengatakan ia yang mengetahui semua sifat benda di dalam satu benda, mengetahui semua sifat semua benda, dan ia mengetahui semua sifat semua benda. Mengatahui senua sifat di dalam satu benda. Pengetahuan manusia, dengan melihat kapasitasnya yang terbatas , ia adalah relativ dan terbatas dan semuanya merupakan keputusan kita. Teori logika dan epistemologi Ajaran jaina ini disebut “syadvada”. 

Baik anekantavada maupun syadvada merupakan dua aspek dari ajaranyang sama –realistik dan prulalistik relativistik. Sisi metafisikanya bahwa realitas mempunyai karakter yang tak terhitung jumlahnya disebut anekantavada, sementara pandangan logika dan epistemologinya bahwa kita hanya dapat mengetahui beberapa aspek saja dari suatu realitas di dunia dan oleh karena itu keputusan-keputusan kita bersifat relativ, maka ia disebut syadvada dan ada tujuh golongannya:
  1. Syadasti:secara relative, sebuah benda riil.
  2. Syannasti:secara relative, sebuah benda tidak riil.
  3. Syadasti nasty:secara relative, sebuah benda keduanya riil dan tidak riil.
  4. Syadavaktavyam:secara relative, sebuah benda tak bisadijelaskan.
  5. Syadasti cha avaktavyam:secara relative, sebuah benda riil dan tidak bisadijelaskan.
  6. Syannasti cha avaktavyam:secara relative, sebuah benda tidak riil dan tidak dapat di jelaskan.
  7. Syadasti cha nasty cha avaktavyam: secara relative, sebuah bendarill, tidak riil dan tidak bisa dijelaskan.
Kewajiban Para Pendeta

Parsva dan Vardhamana Mahavira telah menetapkan limansumpah atauutara yang wajib di sampaikan oleh para pendeta secara ketat jika memang ingin bebar-bebar menjalankan usaha untuk memperoleh pengetahuan agung dan kebahagiaan abadi atau nirwana. Kesungguhan menjalankan lima sumpah ini di sebut diska. Sisi dari kelima sumpah tersebut adalah:

1. Menghindari menyakiti atau membunuh mahluk hidup.
2. Tidak melakukan kebohongan dan senantiasa melakukan kebenaran
3. Menghindari diri dari perbuatan mencuri
4. Menghindarkandiri dari menikmati kehidupan seksual dan keharusan tidak menikah.
5. Menghindarkan diri darinsemua keinginan duniawi, khususnya kkeinginan untuk memiliki keinginan pribadi.
Para pendeta yang sudah memantapkan diri melaksanakan sumpah di atas agar dapat bertahan dalam kondisi semacam itu , maka perlu di topangoleh tujuh disiplin hidup.
  1. Harus menjaga asvara atau masuknya benda karma ke dalam juwa
  2. Untuk menghindaridosa, dia harus memperhatikan lima samiti yaitu berhati-hati ketika berjalan, berbicara, mengumpulkan sedekah, mengambil atau meletakan barang atau mengosongkan tubuh.
  3. Wujud penderita, sebagai akibat dari tercamurnya benda-benda ke dalam jiwa bagi seorang pendeta hendaknya ia memperoleh kebajikan
  4. Guna merealisasikan kehidupan suci yang benar-benar di cari oleh mereka itu maka di perlukan 12 refleksi
  5. Menjaga jalan hidup yang benar untuk mencapai kesempurnaan hidup dan wajib menghilangkan samasekali karmanya.
  6. Tingkah laku yang terdiri dari contol.
  7. Para pendeta melakukan kehidupan asketik atau melakukan kehidupan sederhana
Sekte Dalam Jainisme

Didalam perkembangannya, jainisme pecah menjadi dua sekte, yaitu swetambara atau (yang berpakaian putih) dan dirgambara atau (yang berpakaian langit). Perbedaannya adalah hanya dalam beberapa detail ajaran dan praktek agama yanga bersifat minoritas. Secara fundamental tidak ada perbedaannya. Pecahnya menjadi dua sekte tersebut tidak berpengaruh kepada jainisme yang esensial.

Dirgambara (berpakaian-langit), lebih keras dan sangat fanatik mengabaikan semua pakaian, aliran ini adalah sekte awal dari kaum jain, sedangkan Sekte Shvetambara (berpakaian putih) memperbolehkan mengenakan pakaian putih yaitu kolompok yang menolak doktrin dari sekte digambara dan membuat golongan tersendiri.

Aturan agar berpakaian putih atau telanjang bulat hanya berlaku bagi pendeta tertinggi dan bukan untuk orang kebanyakan; tidak juga bagi pendeta yang rendah. Menurut dirganbara mereka harus tidak mengenakan kain secarikpun (telanjang -red). Menurut sekte dirgambara mereka harus mempertahankan hidup pertapa yang sempurna, tidur hanya tiga jam sehari, makan dari meminta-minta, susah waktunya untuk belajar dan mengajar, dari wanita tidak dapat mencapai pembebasan: sementara swetambara menolak pandangan ini. Kehidupan kependetaan dirgambara sangat keras dan ketat didalam hal disiplin. Karenanya pengikutnya sangat kecil jumlahnya.

Biksu senior Digambara biasanya telanjang. Tapi mereka tidak menganggap diri mereka bugil. Mereka mengaku mengenakan pakaian alam. Kaum Digambara meyakini praktik ini merupakan perbuatan menolak tuntutan tubuh. Kaum asketis Digambara biasanya hanya mempunyai dua harta benda: sapu bulu merak dan buah labu manis. Komunitas Jain di Maharashta, Bendelkhand, Karnataka, Tamil Nadu, merupakan kaum Digambara. Di utara India, kaum Saravagis dan Agrawals juga termasuk penganut Digambara.

Dirgambara (Tidak berpakaian) dan Shvetambara (Berpakaian putih)
Sthanakavasi kemudian muncul sebagai kelompok reformasi yang menentang penyembahan berhala di dalam Jainisme. Setiap kelompok aliran tersebut memiliki kitab-kitab suci kanonikal yang berbeda. Nama umum untuk kumpulan kitab-suci Jainisme adalah Agama (aturan/ajaran/perintah). Jumlah buku-buku itu bervariasi dari 33 sampai 84 buku tergantung kepada masing-masing sekte.

Kitab Suci

Sumber-sumber suci dikalangan para pengikut agam jaina adalah pidatdo-pidato mahavira. Kemudian pidato-pidato mahavira ini diteriam oleh para pengikutnya seperti para murid-muridnya, orang-orang arif, pendeta-pendeta dan para ahli ibadah. Sumber kepustakaan suci ini diturunkan dari generasi ke generasi secara lisan. Lalu dikarenakan takut ajaran-ajaran ini hilang dan bercampur dengan ajaran-ajaran yang lain, maka mereka memelihara tradisi tersebut dan menuliskannya.

Para penganut jaina mengadakan pertemuan dibandar patli putra, untuk mengumpulkan naskah-naskah suci untuk dijilid manjadi satu. Dan kemudian kitab suci ini diberi nama siddhanta, yang menjadi ajaran pokok agama jaina. Dan bahasa yang digunakan dalam kitab ini adalah bahasa Ardhamajdi atau prakit. Namun bahasa tersebut hanya digunakan pada abad-abad sebelum masehi, setelah masehi untuk menjaga isinya kitab tersebut diganti bahasanya menjadi bahasa sansekerta.

Sedangkan kitab siddhanta sendiri terdiri dari 12 anggas sebelumnya, semua itu adalah himpunan yang terdiri dari pidato-pidato mahvira. Namun anggas yang kedua belas telah lenyap sampai kini,tidak bisa diketemukan lagi. Namun tentang jumlah anggas seluruhnya, yang merupakan bagian dari kitab suci dijumpai perbedaan pendirian diantara sekte-sekte didalam agama jaina itu. Seperti sekte digambara mengakui ada 80 anggas dari bagian kitab suci agama jaina sedangkan sekte swetambara mengakui hanya 45 anggas saja. Sedangkan gerakan reformasi agama jaina hanya 33 anggas saja.

Praktek Ritual Agama Jainisme

6 Ritual penting

Samayik (kedaan keseimbangan)
Adalah salah satu praktek ritual yang paling penting dari Jainisme di mana kami mencoba untuk mendekati jiwa kita. Selama samayik, kita duduk di satu tempat selama empat puluh delapan menit mengisolasi diri dari rumah tangga sehari-hari, sosial, bisnis, atau kegiatan sekolah.

Chaturvimsati (menyembah 24 tirthankara)
Merupakan ritual keagamaan penting Jainisme. Ketika seseorang mencapai Sambhav di Samayik, orang berpikir tentang mereka kepribadian yang besar yang menunjukkan jalan `samta`. Yang berikutnya juga berpikir tentang Gunas mereka (karakteristik). Ini adalah konsep di balik chaturvimsati. Vandan (menawarkan salam ke saddhus (bikhu) atau sadvhis (bikhuni)

Selama vandana, kita tunduk kepada para biarawan dan biarawati dan mengungkapkan rasa hormat kita kepada mereka. Mereka adalah pemandu agama kita saat ini, dan preceptors. Sementara membungkuk, kita menjadi rendah hati, dan dengan demikian, ini membantu kita untuk mengatasi ego dan amarah.

Pratyakhyan (penolakan)
Ini adalah penolakan formal kegiatan tertentu, yang mengurangi atau menghentikan aliran dari karma. Pratyakhyan membantu kita untuk belajar mengendalikan keinginan kita dan mempersiapkan kita untuk penolakan yang lebih besar. Selain enam ritual penting diatas umat jain juga taat melaksanakan ibadah harian atau pemujaan harian yakni penyembahan terhadap berhala. dalam penyembahan berhala ada tiga tingkatan atau tiga taha yakni puja, vandan kirtan dan aarati.

Puja dalam penyembahan ini ada 8 macam yakni:
  1. Jala (Air) Puja: Air melambangkan laut.
  2. Chandan (Sandal kayu) Puja: Chandan melambangkan Pengetahuan (Jnan).
  3. Pushpa (Bunga) Puja: Bunga melambangkan perilaku. cinta dan kasih sayang terhadap semua makhluk hidup.
  4. Dhup (Dupa) Puja: Dhup melambangkan kehidupan pertapa
  5. Deepak (Candle) Puja: Nyala Deepak merupakan Kesadaran Murni atau Jiwa tanpa perbudakan atau Jiwa Dibebaskan
  6. Akshat (Beras) Puja: Beras rumah tangga adalah jenis biji gandum, yang non-subur
  7. Naivedya (Manis) Puja: Naivedya melambangkan makanan lezat
  8. Fal (Buah) Puja: Buah melambangkan Moksha atau Liberation
Puja khusus (poojan)
Ada beberapa macam puja khusus ini diantaranya yakni:
  1. Snatra puja : Ini melambangkan tirthankara yang mandi digunung meru bersama dewa dewi, poojan selalu dilakukan sebelum setiap puja, pujan, pada perayaan ulang tahun, selama pembukaan usaha baru, dan pindah rumah dll.
  2. Panch Kalyanak puja : Puja ini memperingati lima peristiwa besar kehidupan theTtirthankar itu. Puja ini dilakukan dalam setiap acara yang baik. Lima kalyanks adalah konsepsi, kelahiran, penolakan,kemahatahuan, dan Moksha.
  3. Antaray Karma puja : Ada delapan poojas, sangat mirip dengan Ashta Prakari Pooja. Dalam poojas, menyebutkan tentang, bagaimana orang yang berbeda menciptakan antraykarmas dan mereka mampu menghapus hambatan tersebut setelah melakukan poojas ini.
Pujan yakni Sebuah ritual panjang yang hampir berlangsung sepanjang hari dan dilakukan oleh orang-orang yang sangat terpelajar dan melibatkan banyak orang dalam upacara. Mereka dilakukan sesekali seperti saat baru upacara pembukaan candi, setelah penebusan dosa khusus seseorang seperti varshitap dll.

Ibadah Puasa Jainisme

Puasa merupakan hal yang sangat lazim dalam spiritualitas Jain. Biasanya dilaksanakan pada hari-hari tertentu, seperti hari Raya tertentu. Puasa lebih sering dilaksanakan oleh kaum wanita dibandingkan dengan prianya. Penganut Jain berpuasa sebagai penebusan dosa, terutama bagi para pendeta. Puasa juga membersihkan badan dan pikiran, seperti Mahavira yang menggunakan banyak waktunya untuk melaksanakan puasa. Bagi penganut Jain tidaklah cukup hanya tidak makan saja dalam melaksanakan puasa mereka haruslah juga menghentikan keinginannya untuk makan. Bila dia menginginkan makan, maka puasa itu tidaklah ada manfaatnya.

Ada beberapa jenis puasa.
  1. Puasa penuh : tidak makan dan minum secara penuh dalam jangka waktu tertentu.
  2. Puasa sebagian : makan lebih sedikit dari yang dibutuhkan untuk mencegah rasa lapar.
  3. Vruti Sankshepa: membatasi jenis makanan yang dimakan .
  4. Rasa Parityaga: menghindari makanan yang disenangi
  5. Puasa Agung, beberapa pendeta Jain berbuasa berbulan-bulan dalam sekali puasa, mengikuti contoh Mahavira, yang dikatakan melaksanakan puasa sampai 6 bulan. Bahkan sekarangpun masih ada yang berpuasa lebih dari 6 bulan seperti Hira Ratan Manek. Yang lainnya berpuasa sampai setahun penuh seperti Sri Sahaj Muni Maharaj yang mengakhiri puasa 365-hari pada 1 Mei, 1998.
Santhara atau Sallenkhana – Berpuasa sampai mati, seorang Jain berhenti makan dengan maksud untuk menyiapkan kematian Ini berbeda dengan bunuh diri, karena tidak dilandasi dengan perasaan marah atau emosi, tetapi hal ini dilakukan bila tubuh tidak mampu lagi melayani pemiliknya sebagai alat spiritualitas. Tujuannya untuk membersihkan badan, dan menyingkirkan semua keinginan yang bersifat fisik dari pikiran. Seperti halnya menghentikan makan dan minum, sehingga bisa memusatkan fikiran kearah spiritual menyongsong kematian.

Ritual Sumpah Sallekhana

Dalam agama Jainisme, dosa bunuh diri dianggap sama beratnya denganmembunuh orang lain. Kitab-kitab umumnya mengatakan bahwa kematiandengan cara bunuh diri mengakibatkan seseorang menjadi hantu. Bagaimanapun, agama Jainisme menganggap bahwa bunuh diri melalui puasa dengan berbagai keadaan tertentu dapat diterima. Perbuatan ini yang dikenalisebagai Sallekhana, yang memerlukan banyak waktu dan daya pikir sehingga tindakan tersebut tidak lagi merupakan suatu tindakan yang mengikuti suarahati. Perbuatan tersebut juga memberikan waktu untuk seseorang menyelesaikan semua urusan duniawinya, merenung tentang kehidupan, serta mendekati diri dengan Tuhan.

Jainisme menekankan kemandirian spiritual dan kesetaraan antara semua bentukkehidupan. Praktisi agama ini percaya bahwa non-kekerasan dan pengendalian diri adalah cara yang mereka dapat memperoleh pembebasandari siklus reinkarnasi.

“Sumpah Sallekhana”. Ritual ini bisa dibilang sangat ekstrim dimana seseorang penganut ajaran ini melakukan puasa hingga ia meninggal. Sallekhana adalah ritual agama Jain untuk bunuh diri dengan berpuasa. Karena sifat berkepanjangan Santhara, seseorang diberikan waktu yang cukup untuk merenungkan hidupnya. Sumpah Sallekhana diambil ketika seseorang merasa bahwa kehidupannya telah mencapai puncaknya. Tujuan dari sumpah ini adalah untuk membersihkan fortune lama dan mencegah terciptanya fortune yang baru.



Gambar di atas menggambarkan bagaimana seorang yang sedang menjalankan ritual sumpah sallekhana hingga meninggal dan setelah meninggal akan dibakar namun sebelumnya di arak sebagai simbol kebanggaan telah menjalani ritual tersebut untuk menuju ke hadapan Yang Maha Kuasa. Jika kita bayangkan, berpuasa hingga ajal adalah hal yang sangat susah dilakukan, harus menahan segalanya dari kehidupan duniawi. 

Mungkin banyak menjadi pertentangan karena hal tersebut berbeda dengan apa yang kita percayai, namun begitulah kehidupan ritual disana.

Kuil-Kuil Jainisme

Saat ini tercatat ada sekitar 4,2 juta pemeluk Jainisme di India saja. Walau termasuk agama minoritas, mereka memiliki banyak kuil indah seperti terlihat di bawah ini:

Kuil Sonagiri terletak di puncak bukit kota Sonagiri (arti: puncak emas). Para peziarah dan wisatawan yang berkunjung diwajibkan menaiki 300 anak tangga dengan kaki telanjang.
Shri Digambar Jain Lal Mandir merupakan kuil tertua Jainisme di India. Dibangun tahun 1526, lalu mengalami banyak perkembangan terutama sejak abad 19. Kuil ini dari material batu pasir merah.
Desa Khajuraho merupakan salah satu tujuan wisata paling populer di India. Di desa ini banyak terdapat kuil untuk pemeluk Hindu dan Jainisme yang sudah berdiri sejak tahun 950 hingga 1.150 M.
Di puncak bukit kota Shravanabelagola terdapat patung Gomateshwara, ia adalah anak kedua dari Dewa Adinatha, yang pertama dari 24 orang di bumi yang "dicerahkan" (Tirthankara). Tingginya 17,38 meter, dibuat sekitar tahun 983 M oleh Chavundaraya, menteri dari Kerajaan Gangga.Setiap 12 tahun sekali diselenggarakan festival Mahamastakabhisheka di tempat ini. Yakni memandikan patung Gomateshwara dengan susu, kunyit, dan koin emas.
Kompleks kuil Dilwara begitu indah karena terbuat dari marmer. Ukirannya begitu detil dan terlihat di langit-langit, pintu, serta pilar kuil. Ada 5 kuil Jain di sini, masing-masing dengan identitas yang unik dan dinamai desa kecil di mana ia berada. Semua candi dibangun oleh dinasti Chalukya antara abad 11 dan 13
Kota Palitana adalah pusat ziarah utama bagi pemeluk Jain. Candi-candi dari Palitana dianggap tempat ziarah paling suci dalam Jainisme. Ada ratusan candi Jain terletak di Gunung suci Shatrunjaya, indah terukir dengan marmer. Dibangun oleh generasi pemeluk Jain selama 900 tahun, sejak abad ke-11. 
Didedikasikan untuk Adinatha, Kuil Jain di Ranakpur ini tampak megah berada di lereng bukit. Terdapat lebih dari 1.444 pilar marmer di kuil ini, dan semuanya diukir sangat indah. Pembangunan candi ini melambangkan penaklukan Tirthankara dari empat arah mata angin. Masih banyak perdebatan soal waktu pembangunan Ranakpur, tapi mungkin dibangun antara abad 14 dan pertengahan 15 M.
Hari-Hari Besar (Hari Raya)

  1. Mahavira Jayanti, Hari Raya ini untuk merayakan hari kelahiran Mahavira. Penganut Jain akan berkumpul di Kuil untuk mendengarkan pembacaan dari ajaran Mahavira.
  2. Paryushana. Penganut Jain Digambra merayakannya di kuil Bulawadi, Mumbai. Kata ‘Paryushana’ berarti ‘tinggal di satu tempat ‘, Awalnya inilah praktek yang utama biarawan. Upacara ini terdiri dari delapan hari puasa, pertobatan dan melaksanakan puja. Sering pendeta diundang untuk memberikan pencerahan dari naskah Jain.
  3. Diwali. Hari Raya ini diperingati diseluruh India. Bagi penganut Jin memiliki arti yang khusus, karena pada hari itu tahun 527 SM (sesuai dengan tradisi Svetambara) dimana Mahavira memberikan ajarannya yang terakhir dan memperoleh kebebasannya yang tertinggi. Pada Diwali orang tua sering memberikan manisan kepada anak-anaknya, dan lampu dinyalakan diseluruh India. Beberapa Jain yang sangat religius akan melaksanakan dua hari puasa, mengikuti apa yang dilakuian oleh Mahavira.
  4. Kartak Purnima. Hari Raya Divali diikuti dengan Hari Raya Kartak Purnima. Ini diyakini sebagai waktu yang menguntungkan untuk melaksanakan tirtayatra ke tempat-tempat suci yang terkait dengan Agama Jain.
  5. Mauna Agyaras. Ini merupakan satu hari untuk melaksanakan puasa dan nyepi. Penganut Jain juga melaksanakan meditasi pada Hari Raya diatas.
Penganut Membersihkan Patung Tirthankara

Sumber

Posting Komentar

 
Top