Dalam agama Majusi muncul aliran Mazdakiah atau Mazdakisme, yaitu dinisbatkan kepada Mazdak yang muncul pada zaman raja Qubadz antara tahun 487-523M. Aliran Mazdakisme ini dekat dengan Maniacheisme yang didirikan oleh Mani. Mazdakisme ini aliran agama Majusi terakhir dalam perkembangan Majusi sebelum datangnya Islam di negeri Parsi. (Ibnu ‘Asyur, Tafsir At-Tahrir wat Tanwir, juz 9 halaman 250)
Mazdak mengaku sebagai nabi dan memunculkan agama serba boleh (harta dan wanita milik bersama, isteri bisa dizinai oleh siapa saja), dan berakhir perkaranya kepada mewajibkan Raja Qubadz untuk mengirimkan isterinya untuk dinikmati orang lain.
Lebih jelasnya, mari kita simak jawaban seorang mufti terhadap pertanyaan tentang itu sebagai berikut:
Mazdakisme, Siapakah Mereka
Soal: Apa arti mazdakiyah/ mazdakisme, dan siapa pencetusnya?
Fatwa:
Mazdakiyah/ mazdakisme itu dinisbatkan kepada Mazdak yang lahir tahun 487 M di Niyabur (Parsi). Yaitu aliran yang mempropagandakan ibahiyah (serba boleh, permissive) yang menghancurkan nilai-nilai dan menggiring kekacauan berlandaskan syahwat dan tidak memperdulikan hubungan-hubungan keluarga dan ukuran-ukuran akhlaq, lepas dari semua keyakinan dan agama. Bahkan aliran itu adalah asal mula komunisme dan biang teori Karl Marx (Marxisme)
Propaganda Mazdakisme ini telah mengumumkan bahwa manusia itu dilahirkan sama, maka seyogyanya untuk hidup sama-sama, tidak ada bedanya antara mereka. Dan yang terpenting apa yang diharuskan dalam kebersamaan itu adalah harta dan wanita menjadi milik bersama menurut pelaku-pelaku propaganda ini.
As-Syahros-tani (penulis kitab terkenal, al-milal wan nihal/ agama-agama dan aliran-aliran) berkata: Mazdak menghalalkan wanita-wanita dan harta-harta, dan menjadikan manusia bersekutu di dalam memiliki wanita dan harta itu seperti dalam hal air, api, dan rumput (untuk hewan) dalam hal menjadi milik bersama. (As-Syahros-tani, al-milal wan nihal, halaman 86).
Propaganda (serba halal yang sangat buruk) ini mendapatkan kedudukan terhormat karena disetujui oleh para pemuda, orang-orang kaya, dan selebritis/ elitis (mutrifin). Hawa nafsu dari dada mereka merasa kebetulan, dan didukung oleh penguasa dan raja, sehingga negeri Parsi tenggelam dalam kekacauan akhlaq dan bejatnya syahwat.
Imam At-Thabari (ahli sejarah dan Tafsir Al-Qur’an, imam para mufassir) berkata: Saat itu kehinaan memuncak. Mazdak dan pengikut-pengikutnya menjarah, dan mengajak untuk mengikutinya, maka manusia kena bala’ karena mereka (mazdakisme) ini, dan keadaan mereka (mazdakisme) menguat, sehingga mereka masuk ke rumah laki-laki, lalu mereka mengalahkannya di rumahnya itu dan merebut wanita-wanita dan hartanya. Dan lelaki ini tidak mampu mencegah mereka, sedang mereka membawa untuk menghiasi perbuatan (bejat) seperti itu dan mengancamnya dengan menelanjanginya. Begitu mereka melangsungkan kebejatan itu belum lama waktunya tiba-tiba mereka menjadi (masyarakat yang) seorang lelaki tidak kenal lagi anaknya dan anak tak kenal lagi bapaknya, dan seseorang lelaki tidak memiliki apapun yang leluasa dengannya. (Tarikh At-Thabari halaman 88).
Wallahu a’lam
Mufti Markaz Fatwa dengan bimbingan:
Dr.Abdullah Al-Faqih
Fatwa nomor 54991, 12 Ramadhan 1425H
(Fatawa As-Syabakah Al-Islamiyah juz 141 halaman 409).
(bersambung, insya Allah)
Mazdakiyah pengikut-pengikut Mazdak bin Namdan di zaman Raja Qubadz bin Fairuz ayah Anu Syirwan (Nocherwan) yang adil. Kemudian Mazdak mengaku sebagai nabi dan memunculkan agama serba boleh (harta dan wanita milik bersama, isteri bisa dizinai oleh siapa saja), dan berakhir perkaranya kepada mewajibkan Raja Qubadz untuk mengirimkan isterinya untuk dinikmati orang lain, maka Anu Syirwan (Anak Raja Qubadz) sangat sakit hati dengan perkataan itu, dan berkata kepada bapaknya: Biarkan antara aku dan dia (Mazdak) untuk tukar pendapat, kalau dia mematahkanku maka aku tunduk kepadanya, dan kalau tidak maka aku bunuh dia.
Ketika Mazdak bertukar pendapat dengan Anu Syirwan, Mazdak terpatahkan dan Anu Syirwan mengunggulinya, maka Anu Syirwan membunuhnya dan pengikut-pengikutnya.
Setiap orang yang dirinya berada di agama permissivme (serba boleh, semuanya halal) pada zaman kita sekarang ini maka termasuk sisa-sisa dari kaum itu. (Muhammad bin Umar bin Al-Husain Ar-Razi Abu ‘Abdillah, I’tiqad Firoqil Muslimin wal Musyrikin, Darul Kutubil ‘Ilmiyah, Beirut 1402H,Tahqiq Ali Sami An-Nasyar, halaman 88-89).
Bahaya besar dan berabad-abad
Nabi palsu Mazdak yang ajarannya sangat busuk dan merusak tatanan hidup itu sampai bisa merata-gara-gara kepemimpinan yang ragu-ragu, tidak tegas, tidak berani mengambil keputusan untuk memberantas keburukan, dan bahkan lebih buruk lagi pemimpin negeri itu yakni Raja Qubadz justru ikut terlibat.
Keterlambatan dalam memutuskan perkara, hingga tidak berani memberantas tuntas suatu keburukan, sekalipun akhirnya nabi palsu pencetus keburukan itu bisa dipenggal lehernya, dan pengikut-pengikutnya pun dibunuhi oleh putera mahkota yakni Anusyirwan, namun keburukan sudah terlanjur merata. Pencurian dan perzinaan sudah memasyarakat. Bahkan untuk meningkatkan keimanan, maka perlu menzinai isteri orang.
Pemimpin yang tidak tegas, yang ragu-ragu, apalagi bahkan terlibat dalam kasus keburukan, ternyata dampak buruknya bukan hanya sesaat itu saja. Bahkan sampai pemimpin keburukannya telah ditebas lehernya, dan para pengikutnya telah dibunuhi, namun keburukan yang telah terlanjur merajalela itu ternyata menjalar bagai air banjir di masyarakat.
Mana buktinya?
Walaupun sekitar seratus tahun setelah itu kemudian orang-orang Parsi (kini Iran) masuk Islam, namun apa yang terjadi? Mereka tetap mempertahankan keburukan yang telah terlanjur merajalela tadi, hanya dimodifikasi sedikit.
Kalau zaman Mazdak yang nabi palsu Majusi, maka yang terngiang di hawa nafsu mereka adalah: Untuk meningkatkan keimanan maka perlu menzinai isteri orang. Kemudian setelah mereka masuk Islam, maka yang terngiang di hawa nafsu mereka adalah: Untuk meningkatkan keimanan maka perlu menzinai orang dengan nama nikah mut’ah atau kawin kontrak. Padahal nikah mut’ah jelas sudah dilarang oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya dalam hadits shahih riwayat Muslim.
Dari Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani, ia berkata: Kami bersama Nabi Muhammad SAW dalam suatu perjalanan haji. Pada suatu saat kami berjalan bersama saudara sepupu kami dan bertemu dengan seorang wanita. Jiwa muda kami mengagumi wanita tersebut, sementara dia mengagumi selimut (selendang) yang dipakai oleh saudaraku itu. Kemudian wanita tadi berkata: Ada selimut seperti selimut._ Akhirnya aku menikahinya dan tidur bersamanya satu malam. Keesokan harinya aku pergi ke Masjid Al-Haram, dan tiba-tiba aku melihat Nabi SAW sedang berpidato di antara pintu Ka’bah dan Hijir Ismail. Beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia, Aku pernah mengizinkan kepada kalian untuk melakukan nikah mut’ah. Maka sekarang siapa yang mempunyai istri dengan cara nikah mut’ah, haruslah ia menceraikannya, dan segala sesuatu yang telah kalian berikan kepadanya janganlah kalian ambil lagi. Karena Allah Azza wa Jalla telah mengharamkan nikah mut’ah sampai hari kiamat.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim (II/ 1024), Imam Abu Dawud dalam kitabnya Sunan Abi Dawud (II/ 226, 2072), Imam Ibnu Majah dalam kitabnya Sunan Ibnu Majah (I/ 631), Imam al-Nasa’i dalam kitabnya _Sunan al-Nasa’i (VI/ 1303), Imam al- Darimi dalam kitabnya _Sunan al-Darimi (II/ 140) dan Imam Ibnu Syahin dalam kitabnya _al- Nasikh wa al- Mansukh min al-Hadits hal 215).
Betapa miripnya. Lakon nenek moyang sudah seribu limaratusan tahun yang lalu, ternyata masih diterus-teruskan. Padahal itu adalah warisan nabi palsu.
Itulah bukti, betapa berbahayanya ketika kepemimpinan buruk itu tidak berani memberantas keburukan, hingga telat. Akibat telat mengambil keputusan, baik karena ragu-ragu, tidak beranian, tidak bijak, dan tidak punya prinsip atau memang hanya bisa jadi antek, misalnya; maka akibatnya keburukan pun merata di masyarakat. Bahkan sampai ribuan tahun masih diterus-teruskan keburukannya.
Dan dampak yang lebih buruk lagi, kepemimpinan yang buruk dalam contoh ini, jelas jadi ujian bagi Ummat Islam. Apakah memang benar-benar cinta kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam atau sebenarnya pengikut nabi palsu Mazdak.
Boleh jadi mulutnya mengaku cinta Nabi, padahal hakekatnya simpati pada warisan nabi palsu Mazdak, dan bahkan melakukannya lagi. Na’udzubillahi min dzalik.
Mazdak mengaku sebagai nabi dan memunculkan agama serba boleh (harta dan wanita milik bersama, isteri bisa dizinai oleh siapa saja), dan berakhir perkaranya kepada mewajibkan Raja Qubadz untuk mengirimkan isterinya untuk dinikmati orang lain.
Lebih jelasnya, mari kita simak jawaban seorang mufti terhadap pertanyaan tentang itu sebagai berikut:
Mazdakisme, Siapakah Mereka
Soal: Apa arti mazdakiyah/ mazdakisme, dan siapa pencetusnya?
Fatwa:
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعد:
Mazdakiyah/ mazdakisme itu dinisbatkan kepada Mazdak yang lahir tahun 487 M di Niyabur (Parsi). Yaitu aliran yang mempropagandakan ibahiyah (serba boleh, permissive) yang menghancurkan nilai-nilai dan menggiring kekacauan berlandaskan syahwat dan tidak memperdulikan hubungan-hubungan keluarga dan ukuran-ukuran akhlaq, lepas dari semua keyakinan dan agama. Bahkan aliran itu adalah asal mula komunisme dan biang teori Karl Marx (Marxisme)
Propaganda Mazdakisme ini telah mengumumkan bahwa manusia itu dilahirkan sama, maka seyogyanya untuk hidup sama-sama, tidak ada bedanya antara mereka. Dan yang terpenting apa yang diharuskan dalam kebersamaan itu adalah harta dan wanita menjadi milik bersama menurut pelaku-pelaku propaganda ini.
As-Syahros-tani (penulis kitab terkenal, al-milal wan nihal/ agama-agama dan aliran-aliran) berkata: Mazdak menghalalkan wanita-wanita dan harta-harta, dan menjadikan manusia bersekutu di dalam memiliki wanita dan harta itu seperti dalam hal air, api, dan rumput (untuk hewan) dalam hal menjadi milik bersama. (As-Syahros-tani, al-milal wan nihal, halaman 86).
Propaganda (serba halal yang sangat buruk) ini mendapatkan kedudukan terhormat karena disetujui oleh para pemuda, orang-orang kaya, dan selebritis/ elitis (mutrifin). Hawa nafsu dari dada mereka merasa kebetulan, dan didukung oleh penguasa dan raja, sehingga negeri Parsi tenggelam dalam kekacauan akhlaq dan bejatnya syahwat.
Imam At-Thabari (ahli sejarah dan Tafsir Al-Qur’an, imam para mufassir) berkata: Saat itu kehinaan memuncak. Mazdak dan pengikut-pengikutnya menjarah, dan mengajak untuk mengikutinya, maka manusia kena bala’ karena mereka (mazdakisme) ini, dan keadaan mereka (mazdakisme) menguat, sehingga mereka masuk ke rumah laki-laki, lalu mereka mengalahkannya di rumahnya itu dan merebut wanita-wanita dan hartanya. Dan lelaki ini tidak mampu mencegah mereka, sedang mereka membawa untuk menghiasi perbuatan (bejat) seperti itu dan mengancamnya dengan menelanjanginya. Begitu mereka melangsungkan kebejatan itu belum lama waktunya tiba-tiba mereka menjadi (masyarakat yang) seorang lelaki tidak kenal lagi anaknya dan anak tak kenal lagi bapaknya, dan seseorang lelaki tidak memiliki apapun yang leluasa dengannya. (Tarikh At-Thabari halaman 88).
Wallahu a’lam
Mufti Markaz Fatwa dengan bimbingan:
Dr.Abdullah Al-Faqih
Fatwa nomor 54991, 12 Ramadhan 1425H
(Fatawa As-Syabakah Al-Islamiyah juz 141 halaman 409).
(bersambung, insya Allah)
Mazdakiyah pengikut-pengikut Mazdak bin Namdan di zaman Raja Qubadz bin Fairuz ayah Anu Syirwan (Nocherwan) yang adil. Kemudian Mazdak mengaku sebagai nabi dan memunculkan agama serba boleh (harta dan wanita milik bersama, isteri bisa dizinai oleh siapa saja), dan berakhir perkaranya kepada mewajibkan Raja Qubadz untuk mengirimkan isterinya untuk dinikmati orang lain, maka Anu Syirwan (Anak Raja Qubadz) sangat sakit hati dengan perkataan itu, dan berkata kepada bapaknya: Biarkan antara aku dan dia (Mazdak) untuk tukar pendapat, kalau dia mematahkanku maka aku tunduk kepadanya, dan kalau tidak maka aku bunuh dia.
Ketika Mazdak bertukar pendapat dengan Anu Syirwan, Mazdak terpatahkan dan Anu Syirwan mengunggulinya, maka Anu Syirwan membunuhnya dan pengikut-pengikutnya.
Setiap orang yang dirinya berada di agama permissivme (serba boleh, semuanya halal) pada zaman kita sekarang ini maka termasuk sisa-sisa dari kaum itu. (Muhammad bin Umar bin Al-Husain Ar-Razi Abu ‘Abdillah, I’tiqad Firoqil Muslimin wal Musyrikin, Darul Kutubil ‘Ilmiyah, Beirut 1402H,Tahqiq Ali Sami An-Nasyar, halaman 88-89).
Bahaya besar dan berabad-abad
Nabi palsu Mazdak yang ajarannya sangat busuk dan merusak tatanan hidup itu sampai bisa merata-gara-gara kepemimpinan yang ragu-ragu, tidak tegas, tidak berani mengambil keputusan untuk memberantas keburukan, dan bahkan lebih buruk lagi pemimpin negeri itu yakni Raja Qubadz justru ikut terlibat.
Keterlambatan dalam memutuskan perkara, hingga tidak berani memberantas tuntas suatu keburukan, sekalipun akhirnya nabi palsu pencetus keburukan itu bisa dipenggal lehernya, dan pengikut-pengikutnya pun dibunuhi oleh putera mahkota yakni Anusyirwan, namun keburukan sudah terlanjur merata. Pencurian dan perzinaan sudah memasyarakat. Bahkan untuk meningkatkan keimanan, maka perlu menzinai isteri orang.
Pemimpin yang tidak tegas, yang ragu-ragu, apalagi bahkan terlibat dalam kasus keburukan, ternyata dampak buruknya bukan hanya sesaat itu saja. Bahkan sampai pemimpin keburukannya telah ditebas lehernya, dan para pengikutnya telah dibunuhi, namun keburukan yang telah terlanjur merajalela itu ternyata menjalar bagai air banjir di masyarakat.
Mana buktinya?
Walaupun sekitar seratus tahun setelah itu kemudian orang-orang Parsi (kini Iran) masuk Islam, namun apa yang terjadi? Mereka tetap mempertahankan keburukan yang telah terlanjur merajalela tadi, hanya dimodifikasi sedikit.
Kalau zaman Mazdak yang nabi palsu Majusi, maka yang terngiang di hawa nafsu mereka adalah: Untuk meningkatkan keimanan maka perlu menzinai isteri orang. Kemudian setelah mereka masuk Islam, maka yang terngiang di hawa nafsu mereka adalah: Untuk meningkatkan keimanan maka perlu menzinai orang dengan nama nikah mut’ah atau kawin kontrak. Padahal nikah mut’ah jelas sudah dilarang oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya dalam hadits shahih riwayat Muslim.
Betapa miripnya. Lakon nenek moyang sudah seribu limaratusan tahun yang lalu, ternyata masih diterus-teruskan. Padahal itu adalah warisan nabi palsu.
Itulah bukti, betapa berbahayanya ketika kepemimpinan buruk itu tidak berani memberantas keburukan, hingga telat. Akibat telat mengambil keputusan, baik karena ragu-ragu, tidak beranian, tidak bijak, dan tidak punya prinsip atau memang hanya bisa jadi antek, misalnya; maka akibatnya keburukan pun merata di masyarakat. Bahkan sampai ribuan tahun masih diterus-teruskan keburukannya.
Dan dampak yang lebih buruk lagi, kepemimpinan yang buruk dalam contoh ini, jelas jadi ujian bagi Ummat Islam. Apakah memang benar-benar cinta kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam atau sebenarnya pengikut nabi palsu Mazdak.
Boleh jadi mulutnya mengaku cinta Nabi, padahal hakekatnya simpati pada warisan nabi palsu Mazdak, dan bahkan melakukannya lagi. Na’udzubillahi min dzalik.
http://nahimunkar.com/kepemimpinan-yang-buruk/
Posting Komentar