Makna Idul Fithri
‘Idul Fithri maknanya adalah kembali berbuka. Pengertian ini diambil dari sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:
“Bulan puasa adalah hari dimana kalian berpuasa, al-fithri adalah hari dimana kalian berbuka dan al-Adhha adalah hari dimana kalian menyembelih.” [1]
Bukanlah ‘Idul Fithri berarti “kembali suci” sebagaimana yang sering kita dengar karena pengertian yang salah ini akan berkonsekwensi kepada diremehkannya dosa-dosa kecil seorang hamba selama dosa-dosa besar dijauhi. Allah ta’ala berfirman:
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar diantara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (QS. An-Nisa’: 31)
Hukum Sholat ‘Idul Fithri
Sholat ‘Idul Fithri hukumnya wajib berdasarkan pendapat yang paling kuat. Dari Ummi’Athiyyah ia berkata:
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan kita mengeluarkan pada ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adhha gadis-gadis remaja, wanita yang sedang haid dan gadis-gadis pingitan. Adapun wanita yang sedang haid mereka menjauh dari tempat sholat dan menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, salah seorang kami tidak mempunyai jilbab’. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berkata: ‘Hendaknya saudarinya yang lain memakaikan ia jilbabnya’”. (HR. al-Bukhori 981, Muslim 890)
Dimanakah Sholat ‘Idul Fithri ?
Yang sunnah adalah mengerjakan sholat ‘Id di lapangan atau tanah lapang yang luas sebagai syi’ar kaum muslimin kecuali di Makkah dikerjakan di dalam masjidil harom. Abu Sa’id al-Khudri radliyallahu’anhu berkata:
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam keluar (sholat) pada hari Fithri dan Adhha menuju tanah lapang”. (HR. al-Bukhori 956)
Adab-Adab Menuju Tempat Sholat ‘Id
1. Berhias bagi laki-laki dan mengenakan pakaian paling bagus.
’Umar radliyallahu’anhu pernah membeli jubah yang dijual di pasar kemudian ia mendatangi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam seraya berkata:
”Wahai Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam belilah jubah ini dan pakailah untuk ’Id (lebaran) dan menerima tamu Negara”. (HR. Al-Bukhori 886, Muslim 2068)
2. Mandi dan makan pagi sebelum berangkat
Dari ’Anas bin Malik radliyallahu’anhu ia berkata:
”Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidaklah berangkat pada hari ’Idul Fithri sebelum memakan beberapa biji kurma….Beliau memakainya dengan jumlah ganjil”. (HR. Al-Bukhori 953)
Sa’id bin Musayyib radliyallahu’anhu berkata:
”Sunnah ’Idul Fithri ada tiga: berjalan ke tanah lapang, makan sebelum keluar dan mandi” [2]
3. Bertakbir sejak keluar rumah[3]
Bertakbir adalah ibadah yang sangat mulia khususnya di hari lebaran. Namun apakah disyariatkan bertakbir mulai malam lebaran ?
Dari Zuhri radliyallahu’anhu:
”Bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam keluar pada hari ’Idul Fithri lalu bertakbir sampai mendatangi tanah lapang dan sampai menunaikan sholat. Setelah selesai sholat beliau menghentikan takbir.”[4]
Adapun lafadz-lafadz takbir diantaranya[5]:
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selai Allah dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar dan bagi Allah segala pujian.”[6]
اَللهُ أَكْبَرُ ،اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ ،وَلِلَّهِ الْحَمْدُ ، اَللهُ أَكْبَرُ وَ أَجَلَّ اللهِ أَكْبَرُعَلَى مَاهَدَانَا
“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, bagi Allah segala pujian, Allah Maha Besar, pengagungan untuk Allah yang Maha Besar atas hidayah uang diberikan kepada kita”.[7]
Yang sunnah adalah bertakbir dengan sendiri-sendiri tanpa dikomandoi (satu suara).
4. Berlainan jalan tatkala berangkat dan pulang.
Dari Jabir radliyallahu’anhu ia berkata:
”Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pada hari ’Id berlainan jalan tatkala berangkat dan pulang”. (HR. Al-Bukhori 986)
5. Tidak ada sholat sunnah sebelum dan sesudah sholat ’Id
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu’anhu ia berkata:
“Bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam sholat ‘Idul fithri dua rokaat, beliau tidak sholat sebelum dan sesudahnya”. (HR. al-Bukhori 964, at-Tirmidzi 537)
6. Tidak ada adzan maupun iqomah
Dari Jabir bin Samuroh radliyallahu’anhu ia berkata:
“Aku pernah sholat bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dua ‘Id (‘Idul Fithri dan ‘Idul Adhha) tidak hanya sekali dua kali tanpa adzan dan iqomah. (HR. Muslim 887). Berkata Ibnul Qayyim: “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam jika telah sampai di tanah lapang beliau langsung sholat tanpa adzan, iqomah dan tidak pula ucapan “as-sholatul jaami’ah”. Yang sunnah adalah tidak mengucapkan demikian itu’. (Zadul Ma’ad 1/442)
7. Waktu Sholat ‘Idul Fithri
Sholat ‘Idul Fithri dikerjakan setelah matahari meninggi seukuran tombak. Dari Abdullah bin busyrin salah seorang sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bahwasanya ia keluar melaksanakan sholat ‘Idul Fithri atau ‘Idul Adhha maka ia mengingkari lambatnya imam. Ia berkata: “Sesungguhnya kami dahulu telah selesai (sholat) pada waktu ini” waktu itu telah masuk waktu sholat sunnah (dhuha). (HR. Abu Dawud 1135, Ibnu Majah 1317)
Berkata Ibnul Qoyyim al-Jauziyah rahimahullah: “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melambatkan sholat ‘Idul Fithri dan menyegerakan sholat ‘Idul Adhha dan Ibnu ‘Umar yang terkenal dengan semangatnya menjalankan sunnah tidak keluar sampai terbitnya matahari’. (Zadul Ma’ad 1/442)
Syaikh Abu Bakr al-Jazairi berkata: “Yang lebih utama adalah menyegerakan sholat ‘Idul Adhha di awal waktu agar manusia bisa segera menyembelih sesembelihannya dan mengakhirkan sholat ‘Idul Fithri agar orang-orang bisa leluasa mengeluarkan zakat Fithrinya” (Minhajul Muslim 278)
8. Tata Cara Sholat ‘Id
a. Dikerjakan dua raka’at. ‘Umar radliyallahu’anhu berkata:
“Sholat al-Fithri adalah dua raka’at” (HR. Ahmad 1/37, an-Nasa’i 3/183 dengan sanad yang shahih)
b. Memulai raka’at pertama dengan takbiratul ihrom dan bertakbir 7 takbir di raka’at pertama dan 5 takbir di raka’at kedua selain takbir intiqol (takbir perpindahan gerak dari sujud ke berdiri atau berdiri ke rukuk). Dari ’Aisyah radliyallahu’anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bertakbir pada ’Idul Fithri dan ’Idul Adhha di raka’at pertama 7 takbir dan diraka’at kedua 5 takbir. (HR. Abu Dawud 1150, Ibnu Majah 1280)
Tidak ada keterangan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengangkat tangan di tiap-tiap takbir. Namun Ibnu ’Umar –salah seorang sahabat yang sangat semangat mengamalkan sunnah mengangkat tangan di tiap tiap takbir sehingga ini pun bisa dipakai karena tidak mungkin beliau melakukannya kecuali ada contoh dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan tidak ada sahabat yang mengingkarinya.
c. Setelah selesai takbir membaca al-Fatihah lalu membaca surat Qof di raka’at pertama dan al-Qomar di raka’at kedua. (HR. Muslim 891) atau al-A’la di raka’at pertama dan al-Ghasyiah di raka’at kedua (HR. Muslim 878, at-Tirmidzi 533)
d. Kemudian rukuk dan seterusnya seperti sholat-sholat yang biasa.
e. Khutbah setelah sholat ’Id. Ibnu ’Abbas radliyallahu’anhuma berkata:
”Aku mengikuti shalat ’Id bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman radliyallahu’anhum, mereka semua sholat ’Id sebelum khutbah. (HR. Al-Bukhori 962, Muslim 884)
f. Berkata syaikhul Islam: ’Ucapan selamat pada hari ’Id jika bertamu setelah sholat ’Id dengan mengucapkan:
تَقَبَّلْ اللهُ مِنَّاوَمِنْكُمْ
”Semoga Allah menerima amalan kami dan kalian”.
Telah diriwayatkan dari beberapa sahabat bahwasanya mereka mengucapkannya. (Majmu’ Fatawa 24/253, al-Mughni 2/259)
Maka sebaiknya do’a itu yang kita ucapkan karena lebih baik dari ucapan sebagian orang,
مِنَ اْلعَائِدِ يْنَ وَالْفَائِزِيْنَ
Sumber: 30 Tema Pilihan Kultum Romadhon Berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah oleh Abu Bakr Muhammad Lalu al-Atsari, hal. 187-193 dengan penambahan beberapa footenote dari admin. (maramissetiawan.wordpress.com)
Footnote
[1] HR. at-Tirmidzi 701, Abu Dawud 2326, Silsilah as-Shohihah 1/389 no. 224
[2] Dikeluarkan oleh al-Firyabi 127/1, 2 dalam Fawaid dan dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaul Ghalil 2/104
[3] Sebagian Ulama berpendapat dibolehkannya memulai takbir setelah matahari terbenam setelah berbuka puasa di puasa hari terakhir. Sehingga kita hendaknya berlapang dada dalam masalah ini. Hanya saja yang menjadi permasalahan adalah tata cara yang dilakukan kaum muslimin secara berlebihan yaitu dengan menghidupkan malam takbiran dengan keliling atau bahkan menabuh bedug atau musik, yang ini semua tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam terlebih lagi hukumnya (gendang/ alat musik) yang haram. (admin)
[4] Hadits Mursal diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah 1/487 namun memiliki beberapa penguat dan dishohihkan syaikh al-Albani dalam silsilah as-Shohihah 170.
[5] Yang sunnah adalah mengucapkan lafadz takbir yang telah diajarkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, seperti sebagiannya yang disampaikan diatas, adapun takbir-takbir yang panjang dan kebanyakan diamalkan oleh sebagian kaum muslimin dengan tambahan lafadz “Allahu Akbar Kabiro, Wal hamdulillahi katsiro, Wa Subhanallahi Bukratan Wa Ashila, Laa Ilaaha Illallahu La Na`budu Illaa Iyyah, Muhklishina Lahud-din, Walau Karihal Kafirun., Laa Ilaaha Illallahu wahdah, Shadaqo Wa`dah, Wa Nashara `Abdah, Wa A`azza Jundahu Wa Hazamal Ahzaaba Wahdah., Laa Ilaaha Illallahu Wallahu akbar, Allahu Akbar Wa Lillahil-hamd…..” dan lainnya, ini semuanya tidak ada dalilnya dari perkataan Nabi ataupun para Sahabat sehingga hendaknya ditinggalkan. (admin)
[6] HR. Ibnu Syaibah. (2/168) Dishohihkan syaikh al-Albani dalam Irwaul Ghalil. (3/125)
[7] HR. al-Baihaqi. (3/315) dan dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Irwaul Ghalil (3/125) no.654
Posting Komentar